oleh

Ketika Negara Terpojok Oleh Penelisikan Publik

Rachland Nashidik
Dewan Pertimbangan Partai Demokrat

Ketika negara terpojok oleh penelisikan publik, sering muncul fitnah dan hoax yang disebar melalui media sosial. Contohnya di bawah ini. Entah siapa yang membuatnya. ISIS, Suriah dan Partai Demokrat Amerika Serikat dibawa-bawa untuk menakut-nakuti. Padahal tujuannya tak lain mengaburkan pandangan kita agar setidaknya negara tak dinilai salah. Malah, kalau bisa, tindakannya mendapat pendukung fanatik.

*

Saya paham, banyak orang tak setuju pada FPI. Saya sendiri bukan penggemar — and the feeling is mutual. Saya ingat, foto saya pernah mereka kalungkan di leher kambing. Lalu leher kambing itu dipotong.

Selain foto saya, foto Abdurahman Wahid, Adnan Buyung Nasution dan Hendardi juga bernasib sama. Itu ketika kami pergi ke MK untuk mendaftarkan permohonan judicial review atas pasal Penistaan Agama dalam KUHP. Kalau tak salah ingat, itu tahun 2007.

Toh, ketika beberapa waktu kemudian Munarman (dan Muhamad Rizieq Shihab — MRS) ditangkap karena FPI menyerang demonstran pro Kebebasan Beragama di Monas, saya mengunjungi Munarman di selnya di Polda Metro Jaya. Mereka ditahan, diadili, dan menerima dihukum hakim dua tahun penjara.

Kami memang berpisah jalan: saya dan Munarman. Tapi perbedaan keyakinan politik, setidaknya bagi saya, bukan alasan bagi permusuhan. Lagi pula, saya tak mungkin melupakan Maman pada masa-masa genting saat kami mengusut pembunuhan Munir. Kemana-mana, Maman dan Robet menemani saya dalam tugas TPF Munir. Maman selalu membawa belati dan bersumpah bakal mati duluan bila saya diserang komplotan pembunuh Munir.

Maman memang pemberani. Saat Aceh bergejolak di bawah darurat militer, saat warga Aceh dikepung kekerasan dari dua penjuru, cuma Maman yang bersedia ditugasi Munir menjadi Koordinator KontraS di sana. Cuma Maman yang berani.

Tapi bukan karena hubungan lama dalam pengalaman dan persahabatan itu yang membuat saya angkat bicara, saat kemarin 6 anggota FPI ditembak mati Polisi.

*

Bagi saya, isyu utama dalam kasus ini adalah apakah penembakan itu sudah sesuai aturan hukum? Bagaimanapun, penggunaan senjata api oleh Polisi, apalagi mengakibatkan korban jiwa, adalah tindakan ektsrem yang seharusnya bersifat eksepsional. Itulah, bagi saya, isyu utama dalam kasus ini — bukan bahwa yang didor adalah anggota FPI.

6 orang anak muda — satu di antaranya baru berusia 21 tahun — yang ditembak mati itu tak punya catatan kriminal. Pun pada saat dibuntuti dan lalu ditembak mati, mereka tidak sedang melakukan perbuatan kriminal. Mereka ditugasi menjaga MRS dalam sebuah perjalanan keluarga. Sulit bagi saya menerima bila mereka didor hanya karena menjadi anggota FPI.

Di awal kemenangan reformasi dulu, saya pernah mengajar dalam beberapa kali kursus HAM yang diselenggarakan Polisi bekerjasama dengan IMPARSIAL. Ini adalah bagian dari program kami untuk mengenalkan UN-Basic Principles on the Use of Force and Firearm by Law Enforcement Officials. Pada pokoknya, PBB menetapkan, penembakan hanya bisa ditempuh sebagai jalan terakhir dan dengan tujuan melumpuhkan — bukan membunuh.

Seingat saya, Prinsip-prinsip yang dikeluarkan PBB itu dijadikan rujukan oleh Polri dalam aturan penggunaan kekuatan dan senjata api.

Polri menyatakan, dalam suatu pernyataan publik yang sangat terburu-buru, petugas menembak karena mereka lebih dulu ditembak. Kenapa saya menilai pernyataan itu terburu-buru? Sangat jelas, belum ada penyelidikan internal yang dilakukan Polri terhadap petugas yang melepas peluru.

Setiap penggunaan peluru, apalagi mengakibatkan kematian warga sipil, harus dipertanggungjawabkan. Di negara-negara demokrasi, Internal Affairs Kepolisian akan langsung bekerja menyelidiki petugas yang menembak.

Petugas bukan saja akan diinterogasi dan dibebastugaskan sementara, tapi kejadian itu sendiri akan diusut dan diurut: fakta-fakta di tempat kejadian digali, saksi-saksi dicari dan ditanyai, dan duduk perkara kejadian direkonstruksi. Hasil dari investigasi internal itulah yang akan dijadikan bahan untuk menyimpulkan kenapa penembakan dilakukan dan memutuskan apakah itu lawful — bukan extra-judicial killing. Semua itu tak mungkin dilakukan dalam semalam.

Kemarin kita membaca berita, Mabes Polri mengambil alih kasus ini dari Polda Metro Jaya. Juru bicara Mabes Polri menyatakan penembakan akan diselidiki. Saya gembira membacanya tapi lalu tahu penyelidikan internal belum dilakukan. Kalau begitu, apa dasar bagi kita untuk menerima dan membenarkan bahwa 6 pemuda anggota FPI itu ditembak mati karena menyerang petugas? Apa dasar untuk meyakini bahwa penembakan itu lawful, bukan extra-judicial killing?

*

Sekarang ini, apa pula dasar bagi kita untuk mengeluarkan dari daftar kemungkinan bahwa anak-anak muda itu didor semata karena mereka anggota FPI? Sekali lagi, saya sungguh berharap, bukan begitu kenyataannya. Tapi kelihatannya pertanyaan atau kemungkinan itu sebenarnya ada pada pikiran publik — baik pada mereka yang menolak atau mengamini penembakan.

Mereka yang mengamini penembakan biasanya menyebut FPI berbahaya. Sarang kelompok intoleran. Serangan pada kebhinekaan Indonesia. Track record FPI dalam aksi-aksi polisional dan ceramah-ceramah HRS yang membakar memang membuat orang mudah punya anggapan demikian.

Sebenarnya, banyak orang Indonesia, karena mendengar atau mengalami sendiri hal buruk dengan Polisi, cenderung berhati-hati, skeptis, bahkan curiga pada Polisi. Namun dalam kasus penembakan FPI, kelihatannya banyak yang memilih melupakan sikap skeptis dan curiga itu, dan secara terus terang atau diam-diam, mendukung Polisi.

Mudah ditebak, mereka yang menolak atau mempertanyakan penembakan, dengan segera didorong jatuh pada katagori di seberangnya: dituding Anti-Pancasila, Pro-Intoleransi, bahkan dalam grafis di bawah, pro ISIS dan mau merebut kekuasaan Jokowi. Edan pisan.

Teman-teman di lingkungan pengurus Partai Demokrat tertawa ngakak ketika tahu saya dituding pro FPI dan Pro ISIS. Tapi dulu ada teman-teman saya di Partai yang diam-diam menganggap saya pro-PKI. Pasalnya, saya dianggap lebih membela korban terbanyak dalam pembunuhan massal di Republik ini di tahun 1965.

Saya memang meyakini, anggota-anggota PKI itu, yang tak mengetahui apalagi terlibat dalam petualangan para pemimpinnya, telah diburu, dibunuh dan dihukum tanpa pengadilan — semata karena mereka menjadi kader dari Partai yang pada saat itu legal. Mungkin memang benar, pada waktu itu PKI terlibat atau melakukan politics of hate, tapi jelas juga mereka adalah korban-korban extra-judicial killing. Nyawa setiap manusia harus dilindungi, apapun asal usul sosial, keyakinan, jenis kelamin dan preferensi politiknya. Indonesia harus belajar dari pengalaman buruknya sendiri dan tak mengulangi kekejaman yang sama.

Salah satu pelajaran penting itu: aparat negara yang memonopoli alat alat kekerasan harus dikontrol, agar profesional, tak berpolitik praktis, selalu menuruti code of conduct, dan hanya tunduk pada Undang-Undang dalam negara demokrasi. Pikiran itu yang antara lain mendorong kita dulu memanfaatkan kemenangan reformasi tahun 1998 untuk mereformasi TNI. Tapi bagaimana dengan Polri?

Jangan sampai extra-judicial killing pada masa kini berpindah pelaku dari TNI ke Polri. Adalah tanggung-jawab setiap warga negara yang peduli, untuk mencegah kemungkinan itu, betapapun mungkin kecil, menjadi kenyataan. Perkara dituduh pro ini dan itu, ya memang menyebalkan, tapi seperti kata kawan saya: “In vino veritas”. Dalam anggur ada kebenaran.

Favorit saya dari Perancis atau Italia. Tapi tak menolak dari Australia.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed